Individualistis dari Muka Sebuah Halte

on Kamis, 03 Februari 2011

Badan saya sedikit pegal karena baru pulang dari Jakarta sore tadi. Kemaren saya barusan menghadapi test masuk kerja tahap pertama disalah satu perusahaan asing. Yah, tentu saja dengan jawaban test yang harus bahasa inggris. Menarik! karena memang begitulah keadaannya jika kita ingin maju, bukan terletak pada kita harus menguasai bahasa inggris, tetapi pada kemauan kita untuk mempelajari sesuatu yang baru, memahami dengan cepat, dan menyelesaikan dengan baik.

Tapi bukan masalah test itu yang ingin saya bahas. Permasalahannya terletak pada kondisi saya setelah test. Pada saat itu saya sedang menunggu bis yang akan tiba jam 15.00 WIB jika menurut jadwal, walau pada kenyataannya bis dengan jalur ini sering terlambat dikarenakan macet dan lain hal. Walau mengetahui akan telat, saya tetap menunggu bis semenjak pukul 14.15 WIB. Ditengah terik mentari yang menyengat dan polusi yang saban hari semakin membuat kita perlu menggunakan masker untuk mengurangi jumlah kotoran-kotoran yang masuk ke pernapasan kita, saya berdiri di depan halte sambil melihat ke arah kanan jalan untuk mengetahui apakah bis yang saya tunggu akan datang atau belum. Karena panas saya sedikit mundur agar atap halte mampu melindungi teriknya mentari dari muka saya namun sambil sesekali melihat ke hilir jalan mengecek bis. Suasana ini membuat saya semakin haus dan saya memutuskan untuk membeli teh botol kepada penjual minuman yang biasa mangkal di halte sambil bertanya kepada penjual minuman tersebut apakah bis dengan jurusan sentul sudah lewat. Si penjual pun mengatakan bahwa bis tersebut belum datang. Saya pun meneguk minuman dingin tersebut sambil memandangi sekeliling halte. Ada banyak orang-orang yang menunggu bis, rata-rata adalah karyawan kantor. Wajah para penunggu bis tersebut serius mengamati bis-bis apa saja yang melewati halte tersebut. Setiap kali ada bis yang lewat, tak sedikit para penunggu bis yang berlarian mengejar bis tersebut sehingga mengurangi jumlah penunggu bis yang mangkal di halte. Namun selang beberapa menit kemudian, beberapa orang datang ikut mangkal di halte yang membuat halte kembali penuh.

Namun satu hal yang pasti melihat kondisi ini, selain kepada teman sejawat yang mereka kenal dan penjaja minuman yang sering mangkal di halte, tak ada satu orangpun yang berani mengobrol satu sama lain. Mungkin dikhawatirkan mereka bisa saja melewatkan yang mereka tunggu, tapi saya perpikir ini dikarenakan mengurangi tindak kejahatan yang akan terjadi pada diri mereka. Bukan rahasia lagi halte menjadi sarang pencopetan dan penipuan berkedok minta tolong, sehingga para penunggu halte lebih memilih bungkam dan memegang erat-erat tas yang mereka bawa. Hal ini melahirkan sebuah sikap individualistis pada manusia-manusia yang berada di kota-kota besar. Kita sudah sering dengar perbedaan antara kota dan desa adalah sikap individualnya. Warga desa dengan semangat gotong royong saling mengenal satu dan lainnya, warga kota dengan semangat kerja yang tinggi terkadang tidak mengenal bahkan dengan tetangga sebelah rumah mereka sendiri. Banyak faktor yang menyebabkan terjadi hal ini, tapi tingkat kriminalitas yang tinggi menjadi salah satu penyebabnya. Dari paparan yang sudah saya ceritakan diatas, pencegahan kejahatan dengan sikap individual menjadi salah satu solusi yang dirasa terbaik, dan saat ini saya setuju dengan hal tersebut. Walaupun adanya polisi yang berjaga dimana-mana, tetap saja jika kita sudah kecopetan atau dirampok, barang kita tidak kembali. Saya pernah mengalaminya berbulan-bulan yang lalu, saat itu hp saya dicopet oleh dua orang (dan saya pikir jumlah pencopetnya lebih banyak karena saat itu ada empat orang yang terlibat perkelahian dengan saya yang sedikit offensive ketika kejadian itu berlangsung, dua orang yang berkelahi dengan saya, dan dua orang lagi yang pura-pura menolong saya). Setelah saya dicopet, saya pun melapor ke polisi, dan polisi pun hanya *dengan sikapnya yang sok cool menurut saya, menyatakan bahwa tempat tersebut memang rawan sambil menulis berita acara kejadian pencopetan saya. Dan sampai tulisan ini di publish, tidak ada satu orang polisipun yang menghubungin saya perihal masalah ini. Namun, saya tidak pernah mempermasalahkan hal ini, saya ikhlas dan bagi saya mungkin ini teguran bagi saya yang kurang bersedekah kepada orang lain.

Kembali lagi ke masalah yang tadi, kriminalitas ini menjadi pemicu individualistis warga kota yang membuat ketidakpedulian kepada sesama. Ketidakpedulian kepada sesama tentunya akan memicu adanya jurang pemisah antara si miskin dan si kaya sehingga akan menjadi salah satu faktor lagi dalam peningkatan angka kriminalitas. Sebuah rantai yang tak ada ujung, dan harus diputus oleh campur tangan pemerintah kita, walau untuk saat ini jangan berharap terlalu banyak. Karena pemerintah kita sedang mengurusi kasus gayus, korupsi, pornografi, atau masalah politik lainnya. Untuk kesejahteraan rakyat, lebih baik mengadu ke organisasi sosial dan tentu saja juga jangan berharap terlalu banyak, karena mereka juga punya keterbatasan.

0 komentar:

Posting Komentar